Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen baru untuk mengurangi deforestasi dan untuk merehabilitasi serta merestorasi lahan gambut yang terdegradasi. Pada tahun 2011, Indonesia telah mengeluarkan penundaan pemberian konsesi baru untuk eksploitasi hutan alam primer dan lahan gambut, serta Presiden Indonesia Joko Widodo menjadikan penundaan ini permanen pada Agustus 2019.
Presiden juga membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada bulan Januari tahun 2016. Dari tahun 2016-2021, BRG bertugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi 2,4 juta hektar lahan gambut terdegradasi di tujuh provinsi utama: Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Papua. Program BRG ini bertujuan untuk mensistematisasikan restorasi dan regenerasi lahan gambut. Mereka melakukan kegiatan sekat kanal di bentangan yang rawan kebakaran dan mendukung penanaman tanaman pohon ramah-gambut seperti karet lokal, rotan dan kemiri, karena tanaman ini dapat bertahan terhadap kondisi banjir.
Namun, para petani kecil lebih memilih menanam padi sebagai makanan pokok, dan kelapa sawit sebagai tanaman komersial, meskipun lahan gambut harus dibuka, dibakar, dan dikeringkan untuk menanam tanaman tersebut. Kemungkinan, hal ini akan terus terjadi selama pilihan mata pencaharian untuk pemanfaatan lahan gambut yang lebih berkelanjutan masih terbatas. Selain itu, para petani kecil paling sering menggunakan drainase lahan gambut dan praktik tebang dan bakar untuk pertanian, dan praktik-praktik ini membawa konsekuensi lingkungan negatif yang biayanya sangat mahal untuk ditakar. Untuk alasan ini, adaptasi berbagai mata pencaharian pada lahan yang dibasahi dan pilihan agribisnis yang layak secara finansial sangat perlu untuk dikembangkan bagi masyarakat yang tinggal di area lahan gambut. Restorasi lahan gambut yang berhasil tentunya membutuhkan tarik-ulur antara ekonomi dan lingkungan serta kesepakatan yang dinegosiasikan antara pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan yang berbeda. Dengan demikian, keberhasilan upaya restorasi lahan gambut Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana beragam prioritas pemegang konsesi perusahaan, masyarakat lokal, dan pemerintah daerah yang direkonsiliasi.