TANTANGAN-TANTANGAN UTAMA
TROPICAL PEATLANDS

1 – EMISI GAS RUMAH KACA YANG BERLEBIHAN

Indonesia adalah pengendali simpanan karbon dioksida (CO2) yang signifikan secara global yang terdiri dari sekitar 46% dari lahan gambut tropis dunia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua Nugini (206.950 km2). Saat dikeringkan, lahan gambut merupakan penyebab utama emisi gas rumah kaca global melalui proses oksidasi dan pembakaran.

Indonesia adalah penandatangan Perjanjian Paris 2015 di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change 1994 (UN FCCC). Dalam Intended Nationally Determined Contributions (INDC), Indonesia telah membuat komitmen tanpa syarat untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 dibandingkan dengan skenario normal (business-as-usual). Dari pengurangan 29% ini, diperkirakan 17% (yaitu 59% dari target) akan diperoleh melalui pengurangan insiden dan keparahan kebakaran hutan, dan melalui restorasi lahan gambut.

Foto oleh Suzanne Turnock.
Satellite Image of 2019 Southeast Asian haze in Borneo 20190915

2 – KABUT ASAP TRANSNASIONAL YANG BERACUN

Kabut asap sebagian besar muncul dari kebakaran permukaan dan kebakaran gambut di lahan gambut yang terdegradasi. Orang-orang melakukan pembakaran di permukaan tanah, termasuk untuk pembukaan lahan sebagai persiapan untuk ladang berpindah, pengerukan, kecerobohan dan penangkapan ikan. Kebakaran antropogenik ini sering berdampak ke lahan yang tidak dikelola jika kondisi lingkungan mendukung, biasanya pada hari-hari yang panas dengan angin kering yang merupakan karakteristik musim kemarau di beberapa bagian wilayah Indonesia. Jika kebakaran di permukaan ini masuk ke lahan gambut bagian dalam, maka api gambut hampir tidak mungkin dapat dipadamkan sampai permukaan air naik kembali pada musim hujan berikutnya. Sehingga tidak mungkin untuk memadamkan kebakaran gambut dengan pemadaman api yang konvensional.

Di samping dampak buruk yang nyata pada masyarakat lokal, kabut asap transnasional telah menciptakan ketegangan dengan beberapa negara Asia Tenggara, terutama sangat merugikan kesehatan masyarakat dan ekonomi nasional. Menanggapi krisis kabut asap, Pemerintah Indonesia membentuk organisasi baru pada tahun 2016, Badan Restorasi Gambut (BRG), yang telah diberikan mandat untuk merestorasi sekitar 2 juta hektar lahan gambut pada tahun 2020. Pada akhir tahun 2020, Presiden Indonesia Joko Widodo memperpanjang mandat badan tersebut hingga 2024. Sekarang dikenal sebagai Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang bertugas memulihkan sekitar 2 juta hektar lahan gambut dan ekosistem bakau yang terdegradasi di 13 provinsi.

3 – KEHILANGAN DAN DEGRADASI EKOSISTEM LAHAN GAMBUT

Dalam keadaan alami, sistem lahan gambut tidak menyebabkan kebakaran. 'Hutan rawa gambut' yang belum tersentuh memiliki permukaan air yang tinggi, biasanya di atas permukaan tanah selama berbulan-bulan dalam setahun, yang membuat gambut terus basah. Sebagian besar lahan gambut Indonesia telah dikeringkan terkait dengan penebangan dan pembukaan lahan, dan rentan terhadap kebakaran di musim kemarau. Kanal-kanal yang digali dengan mesin yang membedah lanskap seringkali memiliki lebar hingga 20 meter dan kedalaman 4 meter. Langkah pertama dalam memulihkan lahan gambut adalah melalui pembasahan, yang pada prinsipnya melibatkan peningkatan permukaan air tanah melalui sekat kanal, namun hal ini belum pernah diterapkan di daerah tropis dalam skala besar.

Bahkan setelah sekat kanal, lahan gambut akan terus meniris dan mengering di musim kemarau, serta rentan terhadap kebakaran di beberapa waktu dalam setahun. Selain penetapan BRGM, Pemerintah Indonesia telah memberlakukan penundaan permanen eksploitasi lahan gambut dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki lahan gambut yang terdegradasi melalui promosi suksesi alami (natural succession), rehabilitasi, restorasi dan/atau teknologi restorasi lainnya (Peraturan Pemerintah No. 71/2014, direvisi dengan PP No. 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut). Peraturan tersebut juga melarang pembakaran lahan gambut.

Featured-Images-faqDegraded-Land-(4)

4 – MATA PENCAHARIAN BERKELANJUTAN BAGI KOMUNITAS YANG BERGANTUNG PADA LAHAN GAMBUT

Lahan gambut yang telah dibuka dan dikeringkan merupakan kontributor penting bagi perekonomian lokal dan nasional Indonesia, dengan banyaknya petani kecil laki-laki dan perempuan, masyarakat dan industri yang memanfaatkan lahan untuk pertanian, produksi kelapa sawit, dan/atau tanaman hutan.

Sebelum ini, merupakan kebijakan pemerintah pusat untuk membuka dan mengeringkan lahan gambut yang dangkal untuk pengembangan pertanian dan industri. Selama 20 tahun terakhir, banyak masyarakat yang bermigrasi ke lahan gambut yang sebelumnya tidak berpenghuni sebagai bagian dari program transmigrasi Indonesia. Komunitas transmigran di lahan gambut biasanya menetap di sana karena tanah mineral dengan kualitas yang lebih baik sudah ditempati oleh penduduk asli. Meskipun mata pencaharian masyarakat tersebut saat ini bergantung pada lahan gambut yang dikeringkan, sistem tersebut tidak berkelanjutan. Selama periode 20-30 tahun, oksidasi bahan organik bersamaan dengan pemadatan dan penyusutan gambut, berlanjut sampai drainase tidak lagi efektif dan gambut menjadi tidak sesuai bagi segala bentuk pertanian aktif atau lahan kering.

Masyarakat yang bergantung pada pertanian berbasis lahan gambut telah mengalami kesulitan yang signifikan dengan adanya keputusan presiden tahun 2016 yang melarang pembakaran. Petani yang secara tradisional mengandalkan pembakaran untuk persiapan lahan telah melaporkan kegagalan panen yang tinggi dan hasil yang jauh lebih rendah (misalnya Tanjung Beringen, sebuah desa yang bergantung pada gambut di Sumatera Selatan). Proses pemulihan lahan gambut pun akan berdampak lebih lanjut pada komunitas tersebut. Masyarakat yang bergantung pada lahan gambut perlu mengubah sistem produksi mereka menjadi tanaman yang bisa hidup di genangan air dan genangan air dalam. Restorasi melalui pembasahan kembali akan menciptakan tantangan-tantangan yang saat ini belum tersedianya jawaban secara sederhana.