MENARUH HARAPAN PADA SHOREA

Pak Stomo adalah seorang guru Sekolah Dasar di Desa Tumbang Nusa. Dia memiliki satu hektar lahan gambut, berlokasi strategis di belakang rumahnya. Pada tahun 2015, kebakaran hebat melanda tanahnya. Tidak ada satu pun pohon yang tersisa. “Saya pernah menanam karet, rambutan, dan nanas. Tapi semuanya terbakar, tidak ada yang tersisa,” kenang Stomo.

Lahan Pak Stomo (atas) menjadi petak percobaan

Bekerja dengan proyek

Meski terbakar, Stomo tak berkecil hati. Dia memutuskan akan membantu proyek Gambut Kita untuk membangun petak percobaan di tanahnya. Sejak tahun 2020, proyek tersebut telah memberinya berbagai bibit untuk uji coba lapangan, termasuk Durian, Rambutan, Lada, dan Belangeran. 

Bibit siap tanam

Pak Stomo sedang sibuk menanam pada hari kunjungan kami. Lebih banyak bibit dari proyek baru saja tiba. Dia mengambil sekarung pupuk dan mulai berjalan menuju petak di belakang rumahnya. Kakinya terlihat lincah saat berjalan melewati lahan gambut yang basah.

“Di sini banjir seminggu yang lalu. Karena sekarang sudah kering, saatnya untuk menanam,” jelasnya.

Pak Stomo memelihara pohon dan menanam kembali seperlunya

Lima belas menit kemudian dia berhenti. Dia menurunkan karung pupuk kandang. Dia melihat sekeliling tanahnya. Jelas, upaya penanaman kembali berjalan dengan baik. Sore itu, Stomo bekerja sama dengan beberapa ibu-ibu dari desa untuk menanam berbagai bibit pohon antara lain Belangeran, Kayu Putih (Melaleuca Leucadendra), Vanili (Vanilla Planifolia) dan Kemiri (Aleurites Moluccanus).

Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi untuk Shorea

Berdasarkan pengalamannya, Stomo menganggap Belangeran (Shorea balangeran) sebagai salah satu jenis pohon terbaik untuk ditanam di lahan gambut. Sebagian besar bibit pohon miliknya yang lain mati karena banjir.

“Saya menilai Belangeran sangat cocok untuk lahan gambut. Lahan saya sudah beberapa kali kebanjiran, tapi mereka bisa bertahan dan tumbuh dengan baik”. Dia menunjukkan kepada kami deretan pohon setinggi dua meter. “Belangeran ini ditanam tahun lalu. Seperti yang Anda lihat, pohon-pohon ini baik-baik saja,” kata Stomo.

Bibit Belangeran yang sekarang setinggi dua meter

Pak Stomo mengatakan bahwa menanam Belangeran tidaklah sulit. Seseorang hanya perlu menggali lubang di tanah hingga kedalaman tiga puluh sentimeter. Bibit harus ditanam ketika tingginya mencapai lima puluh sentimeter.

“Polybag harus selalu dilepas agar akarnya mudah menyebar ke tanah,” kata Stomo. “Dan bibit itu harus ditopang dengan tiang kayu setinggi satu meter.”

Banyak ibu-ibu di Desa Tumbang Nusa yang terampil dalam pekerjaan pembibitan pohon

Perawatan dan pemeliharaan

Stomo mengakui menanam Belangeran tidak rumit, namun menurutnya merawat pohon adalah cerita lain. Setelah penanaman, bibit pohon harus dipupuk setiap tiga bulan sekali. Stomo menggunakan pupuk kandang lokal yang dibelinya dari toko pertanian di desa seharga dua puluh lima ribu rupiah per karung (50 kg). Untuk menyuburkan pohonnya, Stomo membutuhkan sekitar sepuluh karung pupuk kandang.

Selain itu, untuk mengendalikan pertumbuhan gulma, Stomo harus menyemprotkan obat pembasmi gulma setiap tiga bulan sekali. Untuk itu, ia membeli delapan liter pembasmi gulma, dengan harga seratus ribu rupiah per liter.

“Kami membunuh rumput agar pohon cepat tumbuh”, jelas Stomo, “tetapi juga karena api lebih sulit menyebar jika tidak ada rumput”, tambahnya.

Perencanaan untuk sukses

Awan gelap yang menutupi langit sore tidak membuat para pekerja cemas. Mereka mulai mempercepat kegiatan penanaman pohon. Stomo mengaku sudah tidak ingat lagi berapa pohon yang ditanam. Namun dia yakin, pohon Belangeran akan bertahan di tengah guyuran hujan.

Pak Stomo memberi tahu kami bahwa dia optimis tentang masa depan

“Belangeran adalah sesuatu untuk jangka panjang”, kata Stomo. “Butuh waktu dua puluh tahun bagi bibit untuk tumbuh menjadi pohon. Tapi pohonnya akan berbuah dalam sepuluh tahun, dan buah itu bisa dikembangbiakan menjadi bibit”.

Meski butuh waktu lama untuk tumbuh, Stomo yakin kayu tersebut bisa terjual suatu hari nanti. Hal ini dikarenakan Belangeran merupakan kayu ulin yang berkualitas tinggi dan banyak dicari oleh warga sekitar. Kayu yang luar biasa ini umumnya digunakan untuk membangun fondasi rumah atau jembatan. Terkenal akan kualitasnya, satu meter kubik kayu gergajian dijual seharga tiga setengah juta rupiah.

Aspek ‘penciptaan nilai’ (value-creation) mendorong Stomo untuk aktif menanam pohon Belangeran. Dia mengerti bahwa lahan gambut dapat menafkahinya dengan baik menuju masa depan. Keyakinan ini telah memberinya kekuatan dan keyakinan yang dia butuhkan untuk menanam kayu di lahan gambut.

Facebook
Email
Twitter
LinkedIn
WhatsApp