STRATEGI ADAPTASI PETANI TRANSMIGRAN

Pak Ramin adalah seorang petani sukses yang menanam berbagai tanaman sayuran di lahan seluas 1,5 hektar miliknya. Setelah pindah dari Jawa ke Kalimantan, dia berkata bahwa dia menjalani kehidupan yang lebih sejahtera daripada di kampung halamannya. Tapi, dia harus berjuang selama beberapa dekade hanya untuk sampai ke titik ini.

Ramin menanam sayuran di tanah berpasir dan tanah gambut

Pada akhir tahun 1991, Ramin dan istrinya tiba di Habaring Hurung, sebuah desa lahan gambut 30 kilometer sebelah utara ibu kota Kalimantan Tengah. Semua penduduk desa disponsori untuk pindah ke sini sebagai bagian dari program transmigrasi yang ditawarkan selama rezim Soeharto. Saat tiba, ia menemukan bahwa tanah dan rumahnya tergenang air hingga ke pahanya.

“Kami tinggal di hutan selama lima tahun pertama karena tanahnya masih belum bisa ditanami. Untungnya, kami mengetahui bahwa kami dapat menghasilkan uang dengan memanen kayu gemor (Nothaphoebe coriacea) dan jelutung (Dyera costulata) dari alam” jelas Ramin.

“Harapan kami untuk mengolah lahan muncul setelah pemerintah mengeringkan lahan dan membangun kanal. Meski lahan tidak bisa langsung ditanami, setidaknya air mulai surut.”

Setelah dikeringkan, ia menemukan tanahnya hanya terdiri dari gambut dangkal dan pasir. Dia menyadari bahwa dia harus mengubah metode bertani yang telah ia pelajari di Jawa

Teknik penanaman

Saat menanam, Ramin terkadang menabur benih langsung ke tanah, tetapi ia juga menanamnya di bedengan atau polybag. Dia menggunakan ketiga metode penanaman untuk memastikan panen yang baik.

Polybag diisi dengan campuran gambut dan pupuk kandang kambing

Ia menggunakan polybag terutama saat menanam sayuran seperti tomat dan terong, seledri, dan kangkung. Ia juga menggunakan polybag untuk menumbuhkan tanaman berkayu seperti jambu mete.

“Tanaman bisa terlalu panas jika polybag tidak dicampur dengan tanah gambut. Selain itu, ketika dipindahkan, mereka lebih mudah beradaptasi dengan tanah,” jelasnya. “Saya beri kapur ke tanah sebelum memberi pupuk kandang dan NPK ke bedengan. Urea tidak cocok untuk area ini,” tambahnya.

Ramin menggunakan metode padat karya untuk menjamin keberhasilan

Biaya pengeluaran tinggi dan harga di tingkat petani rendah

Kemampuan Ramin untuk mengolah lahannya terkendala minimnya modal. Dia tidak bisa menghasilkan benih sendiri karena hasilnya buruk. Ia biasa merogoh kocek Rp150.000 hingga Rp175.000 untuk satu paket benih. Namun karena ia tinggal di dekat Palangka Raya, ia dapat dengan mudah mengakses benih.

Kenaikan harga pupuk mengkhawatir- kannya. Harga rata-rata 50 kg pupuk murah adalah sekitar 1 juta rupiah. Belum lagi harga kapur sebesar Rp55.000 per karung (50 kg) maupun pupuk organik yang ia butuhkan dari kambing dan ayam yang harus ia beli dari desa terdekat.

Jagung adalah hasil panennya yang paling menguntungkan, dengan harga pasar yang cukup stabil di Rp2.500 per tongkol. Ia bisa menghasilkan 150 buah jagung dalam sekali panen. Sedangkan untuk kacang panjang, harganya bisa berkisar Rp1.000 hingga Rp7.000 per kg. Harga yang lebih rendah tidak dapat memberikan laba atas investasi.

Meskipun demikian, Ramin mengatakan bahwa ada permintaan sayuran yang tinggi di kota, dan pendapatan pertaniannya memungkinkan dia untuk menghidupi keempat anaknya hingga sekolah menengah atas. Dia juga berhasil membeli berbagai kendaraan; memungkinkannya untuk mendapatkan harga yang lebih baik atas produk segarnya yang ia angkut sendiri, daripada melalui perantara.

References: Sakuntaladewi, N.; Rachmanadi, D.; Mendham, D.; Yuwati, T.W.; Winarno, B.; Premono, B.T.; Lestari, S.; Ardhana, A.; Ramawati; Budiningsih, K.; Hidayat, D.C.; Iqbal, M. Can We Simultaneously Restore Peatlands and Improve Livelihoods? Exploring Community Home Yard Innovations in Utilizing Degraded Peatland. Land 202211, 150.

Facebook
Email
Twitter
LinkedIn
WhatsApp