Karena selalu ingin memiliki kebun jelutung mini (Dyera costulata) di halaman belakang rumahnya, Pak Margo mengatakan bahwa dia membutuhkan 18 tahun untuk uji coba, dan sebagian besar menggunakan keuangan pribadinya untuk belajar bagaimana melakukannya dengan benar. Namun kini, di usia 65 tahun, dia akhirnya mewujudkan mimpinya.

Keinginan Margo untuk menanam jelutung muncul dari pengamatannya terhadap perubahan kondisi alam di sekitar rumahnya di Desa Tumbang Nusa. Dia memperhatikan bahwa ketika banyak pohon asli (seperti jelutung) ditebang untuk diambil kayunya, dan lahan gambut perlahan-lahan ditebangi dari hutan, para petani lokal masih tidak dapat menggunakan lahan mereka yang telah dibuka dengan sukses.
Karena keingintahuan bawaannya, dia rela merogoh kocek sendiri supaya bisa belajar budidaya jelutung dengan sukses. “Sebenarnya saya belajar teknik pembibitan dari petani jelutung di kalangan Dayak di Hampangen[1]. Ada dua ahli yang tinggal di sana pada saat itu, dan saya juga membeli bibit dari mereka. Pada saat itu tahun 2000, dan mereka mengajari saya teknik budidaya di sana dengan biaya pelatihan sebesar 2 juta rupiah,” jelas Margo.
Margo telah mempraktikkan berbagai metode yang ia pelajari dari komunitasnya sebelum memutuskan untuk mengambil 'kursus ahli'. Dia mengatakan ini perlu karena upayanya dulu selalu gagal sebelum menerima 'rumus' dari para ahli. Dia menerangkan bahwa masalah utama dalam menanam jelutung terletak pada perawatan bibitnya. Dia mengatakan bahwa bibit harus diperlakukan seperti anak kecil yang harus dijaga setiap saat. Dan banyak masyarakat yang melakukan kesalahan dengan tidak merawat bibit setelah ditanam.
Saat ini Margo membagikan ilmunya kepada siapa saja yang tertarik untuk belajar tentang bibit jelutung, karena menurutnya masih ada peluang bisnis yang bagus bagi mereka yang ingin melakukan pembibitan jelutung untuk mendapatkan keuntungan. Dengan menggunakan strategi bagi hasil miliknya, ia kini menyediakan buah berisi biji jelutung bagi calon pembudidaya, dan mengambil bagian 25% dari hasil penjualan mereka. Setiap tahun, jelutung berbunga pada bulan September dan berbuah pada bulan Maret. Sebelum buah jatuh ke tanah, buah harus segera dipetik. Setiap buah berisi sekitar 10 biji.
“Saat pohon saya berbuah, hasil panennya sekitar 10-20 kg per musim (setahun sekali). Buahnya seharga Rp3,5 juta per kg. Satu kilogram buah berisi sebelas ribu biji jelutung,” katanya.
Budidaya Bibit Jelutung
Menurut Pak Margo, berikut adalah langkah-langkah yang diperlukan untuk budidaya bibit jelutung:
Pemilihan benih | Pilih benih dengan hati-hati dan hindari biji yang sudah tua, tipis atau berwarna gelap kecoklatan. Biji putih juga sebaiknya dihindari. |
Fase kecambah | Setelah itu, tabur benih dan tunggu sekitar 2-3 minggu, sampai muncul tunas. |
Pemindahan kecambah ke polybag | Tempatkan masing-masing benih yang bertunas dalam polybag dan biarkan tumbuh selama kurang lebih 1,5 tahun di dalam polybag. Rumput harus dijaga agar tumbuh seminimal mungkin di area tersebut. |
Penanaman di ladang/kebun | Tanam benih hanya jika batangnya sudah berwarna hijau tua dan cukup keras untuk bertahan hidup saat ditanam. **Dengan pemilihan dan penanganan yang cermat diharapkan 50% benih akan menjadi bibit jelutung siap tanam yang berhasil. |
Memanen Getah dan Kayu
Margo mengatakan bahwa dia juga menyadap pohon jelutung liar di hutan bertahun-tahun yang lalu. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena berisiko diserang oleh hewan liar di hutan seperti ular.
“Jelutung lebih mudah untuk disadap daripada karet dan lebih produktif. Rata-rata, setiap pohon bisa menghasilkan sekitar 1 kilogram getah.” Dan meskipun getahnya sulit untuk dijual karena kurangnya kolektor dan pembeli, produk ini memiliki harga yang jauh lebih tinggi daripada karet. Selanjutnya, getah hanya perlu disiram dengan air panas sebelum dijual ke pengepul.
Pak Margo menambahkan, selain getahnya, pohon jelutung juga bisa ditanam di perkebunan untuk diambil kayunya: “Pohon usia 12 tahun bisa digunakan, tapi kayunya cepat rusak. Berbeda dengan jelutung yang berusia 30-40 tahun, usianya bagus bahkan cocok untuk gitar,” imbuhnya.
Berkontribusi pada Program Penelitian dan Rehabilitasi Hutan

Hutan jelutung mini seluas 1,5 hektar di belakang rumah Margo terdiri dari dua spesies: varietas hutan rawa gambut dataran rendah yang disebut jelutung rawa (Dyera polyphylla) dan varietas hutan bukit dataran tinggi yang disebut jelutung bukit (Dyera costulata). Hutan mininya berfungsi sebagai laboratorium hidup bagi banyak ilmuwan dari Indonesia dan negara lain, termasuk Britania Raya dan Australia.
“Saya bangga bisa membuktikan kepada anak-anak dan masyarakat bahwa tanaman liar yang Tuhan tanam di hutan juga bisa dirawat di dekat rumah” jelasnya.

Margo mendapat 'rejeki nomplok' sepuluh tahun lalu ketika menyadari jelutung menjadi populer untuk program rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah. Dengan perkebunan di halaman belakang rumahnya, ia ditempatkan dengan baik untuk menyediakan benih untuk program-program ini. Saat itu, satu polybag penuh benih jelutung seharga Rp1.500 dan dia menemukan bahwa dia bisa menghasilkan 50-150 ribu polybag benih jelutung per tahun dan menjualnya ke pemerintah melalui proses tender. Biayanya hanya sekitar Rp250 per polybag (biaya media tanam dan tenaga kerja) di luar biaya perawatan. Ia mengatakan tidak ada kendala untuk menjual benih karena semuanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan program rehabilitasi hutan pemerintah.
[1] [1] Sebuah wilayah di Kabupaten Katingan, sekitar 67 kilometer dari Ibu Kota Kalimantan Tengah.