Uduh Abungai (76), salah satu anggota tertua di desa mengatakan dia pertama kali menanam 70 pohon karet di lahan 0,5 hektarnya pada tahun 1960. Semua bibit pohon berasal dari Kalimantan, dan seperti warga lainnya, Pak Uduh terus menanam bibit karet setiap tahun. Dia mengatakan bahwa pohon baru dapat disadap getahnya setelah tujuh tahun.
Kebakaran merupakan bahaya akut bagi mereka yang menanam pohon karet di lahan gambut, karena api tersebut membakar permukaan tanah, menyebabkan pohon-pohon tumbang. Desa Pak Uduh pernah mengalami kebakaran hebat sebanyak tiga kali pada tahun 1997, 2007, dan 2015. Kebakaran ulah manusia ini memusnahkan banyak pohon karet yang mereka tanam.
Terlepas dari kemunduran ini, masyarakatnya tetap tertarik untuk menanam karet dan menyadap getah. Dan 60% dari penduduk desa masih mengandalkan penjualan karet sebagai sumber utama pendapatan mereka. Karena luasnya kebun mereka, petani karet di Pilang dapat menyadap getah setiap hari. Tergantung pada ukuran petaknya, rata-rata petani dapat menghasilkan 100 kg karet basah per hari.
Persyaratan perawatan yang rendah
Pak Uduh mengatakan bahwa karet merupakan sumber utama pendapatan bagi penduduk desa yang tinggal di Pilang karena sudah ada sejak lama dan telah menjadi sumber pendapatan yang stabil bagi desa selama beberapa generasi.
Ia mengatakan bahwa salah satu alasannya berpegang teguh pada karet adalah karena cukup mudah untuk menanam pohon karet, dan petaknya tidak perlu banyak perawatan, selain memotong rumput di sekitar pohon karet. Sebagai petani karet senior, ia juga cukup terbiasa dengan tumpangsari – menanam jengkol (Archidendron pauciflorum), rambutan (Nephelium lappaceum), gelam (Melaleuca sp.) dan spesies lain di dalam petaknya. Namun, ia berkatabahwa ada beberapa pohon yang terjangkit kulat tepas (Rigidoporus microporus) dan harus segera ditebang agar tidak menyebar.
Tingkat produksi getah yang tinggi
Melalui ‘belajar dengan melakukan’ (learning-by-doing), Pak Uduh akhirnya sampai pada pemahamannya sendiri tentang produksi karet: “Menurut saya, semua ini tidak selalu tentang jumlah pohon karet yang dapat kamu miliki, tapi tentang seberapa banyak getah yang dihasilkan dari setiap pohon,” jelasnya.
Berbagi pengalaman lebih lanjut, ia menambahkan bahwa pohon karet yang ditanam langsung dari bibit dapat menghasilkan getah hingga 50 tahun, sedangkan pohon hasil cangkok hanya dapat menghasilkan getah selama 30 tahun.
Selain memperhatikan pemilihan bibit, ia juga menganggap sangat penting untuk menanam bibit dengan benar – karena ini akan sangat memengaruhi jumlah getah yang dihasilkan. Dia mengatakan bahwa banyak penduduk desa tidak memberikan jarak yang cukup antara pohon mereka, yang merupakan faktor yang sangat penting, terutama di petak karet besar. Menurutnya, semua pohon harus ditanam dengan jarak tanam teratur, yaitu 7 x 7 meter.
Permintaan pasar yang stabil
Alasan lain perkebunan karet tetap diminati masyarakat Desa Pilang adalah permintaan pasar yang cukup stabil. Mereka mengatakan tidak perlu repot-repot mengangkut karet mereka ke luar desa karena pembeli akan datang ke rumah mereka untuk membelinya. Selain itu, karena mereka hanya menjual karet basah, pengolahan tambahan sudah tidak diperlukan lagi
Meskipun demikian, harga karet lokal sangat fluktuatif, dan harga di tingkat petani sering kali turun sangat rendah. Meskipun harga terendah yang ditawarkan dalam tiga tahun terakhir adalah Rp5.000/kg, harga juga mencapai Rp21.000/kg dalam periode yang sama – menunjukkan kebutuhan yang luar biasa akan mekanisme penetapan harga dan pengiriman yang lebih baik bagi petani kecil.